Laman

Saturday, November 17, 2012

Kiat Mendidik Anak Nakal

NAKAL’ adalah istilah yang mendua. Nakal bisa berarti anak yang “kreatif”, “banyak akal”, “suka membantah” tetapi.... dirasakan menyusahkan orang tua.

Saya ingat semasa saya masih SD sekitar kelas 4, saya terkenal, atau dikenal, dijuluki terutama oleh ayah saya: “anak nakal, tukang membantah”, bahkan biasanya ditimpali ibu saya, “Besok kamu sekolah untuk jadi pokrol saja....” Pokrol adalah julukan sinis pengacara atau advokat. Lantas kakak sulung saya membujuk, “Mbok kamu ini jadi anak yang penurut saja, nggak usah membantah...”

Benarkah saya anak nakal gara-gara suka membantah?

Saya membela diri, “Saya tidak sembarang membantah. Saya kan mempertanyakan sesuatu yang ayah perintahkan, apa alasannya, mengapa, mau ke mana, apa yang hendak dicapai, apa tidak ada cara lain yang lebih gampang... dan seterusnya... Kalau instruksinya nggak jelas – nggak masuk akal (menurut jalan pikiran saya) – kan memang perlu dipertanyakan...?”

Tetapi, stigma saya anak nakal, tukang membantah tetap melekat dalam diri saya. Dan, saya tidak mau berubah, saya tetap saja tukang membantah. Bukan asal membantah, tetapi “reasoning” dan saya berpendapat saya bukan anak nakal.

Namun, ada “nakal” jenis lain, yang sama-sama menyusahkan orang tua, dalam derajat lebih besar; yaitu nakal yang cenderung “kriminal”, kejahatan dan kekurangajaran, misalnya mengejek atau tidak sopan kepada orang tua, merusak, menjahati orang lain, dan seterusnya.

Dalam ilmu psikologi anak, anak nakal disebut juga anak dengan Gangguan Tingkah Laku (GTL), yang adalah keadaan patologis, yaitu penyimpangan perilaku dalam bentuk: merugikan/merusak diri sendiri dan orang lain. Nakal yang adalah GTL ini bisa dilakukan sendiri maupun berkelompok, spontan maupun terencana.
Dalam keadaan berat, wujudnya antara lain: mencuri, merusak, berbohong, melarikan diri, menganiaya binatang atau anak lain yang lebih lemah, kekerasan seksual, suka bermain api, provokasi, melawan aturan, melakukan tindakan-tindakan berbahaya.

Ciri khas anak nakal patologis adalah keras kepala, sulit ditaklukkan, tidak patuh, tidak mau diatur, bisa melakukan tindak kekerasan yang direncanakan, tak merasa salah dengan tindakannya, tak pernah menyesal, jika “kalah” mengambil sikap “ngambek”, bukannya menurut.
Cara “Mengelola” Anak Nakal

Bagaimana mengelola anak nakal macam Gangguan Tingkah Laku (GTL) seperti di atas? Atau lebih cerdik lagi, bagaimana orang tua bisa mencegah anaknya tumbuh menjadi nakal seperti itu? Dengan mengetahui prinsip mencegah anak menjadi nakal, kita bisa menentukan strategi mengelola anak nakal. Simaklah butir-butir berikut!

1. Keteladanan orang tua dan peran nilai (value)

Anak tumbuh menjadi anak “baik” atau “nakal” sebagian besar karena mereka melihat teladan, baik dari orang tua maupun lingkungan. Maka, jadilah teladan yang baik, bukan cuma jika sedang di depan anak, melainkan memang menjadi nilai (value) dalam keluarga Anda. Antara lain, keluarga Anda selalu menjaga kejujuran, mempunyai empati dan suka menolong mereka yang sedang tertimpa masalah, menghargai sportivitas, dan seterusnya. Ini adalah nilai (value) yang perlu dibudayakan, dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh orang tua sehingga anak akan terbawa dan juga mempunyai value yang bernilai tinggi.

Biasakanlah menghargai hal-hal yang memang baik, sering-seringlah berbagi kisah-kisah keseharian yang menguatkan perilaku terpuji, diskusikan secara terbuka dan bebas, kendalikan bersama tekanan hal-hal yang potensial merusak, seperti kemungkinan hadirnya acara-acara TV yang tak bermutu, perilaku sesama anak atau bahkan rekan orang tua yang memberikan teladan buruk (walaupun sedang tren). Yakinkan bahwa anak yang “baik” adalah yang dalam segala keadaan, termasuk ketika orang tua sedang tidak bersama mereka, mereka tetap “baik” karena mereka dasarnya baik.

2. Mencegah sumber stres dalam keluarga

Ada bentuk-bentuk stres yang perlu dikelola dengan baik.

1. Stres karena ekonomi rumah tangga: kondisi keuangan hendaknya menjadi urusan bersama sekeluarga (commitment dan concern bersama). Sering anak karena tidak pernah diikutkan dalam merasakan susah payahnya mencari nafkah, apalagi jika lingkungan mereka orang-orang berada, yang tampaknya begitu mudah memperoleh uang, kemudian anak berkecenderungan ingin punya uang dengan mudah.

2. Stres karena ada “gap” antar-anggota keluarga: selalu adakan waktu bagi setiap orang dalam rumah untuk mengungkapkan segala sesuatu, tanpa merasa tertekan. Sering anak merasa tertekan jika bercerita atau berkeluh kesah kepada orang tua, karena orang tua cenderung menyalahkan, atau cenderung terlalu melindungi. Orang tua juga sering begitu sibuk sampai tak memerhatikan perkembangan kejiwaan anak.

3. Stres karena krisis wewenang, siapa panutan dalam keluarga. Bagaimanapun wewenang orang tua, sekalipun fleksibel, perlu dihargai setiap anak. Sering anak terbawa arus lingkungan dan cenderung menjadikan salah satu tokoh lingkungan (di luar orang tua) – yang belum tentu baik sebagai panutan.

4. Komunikasikan perasaan, empati, bukan sekadar kata-kata dan hubungan karena rutinitas belaka. Sering orang tua memperlakukan anak, atau antara ayah dengan ibu dan sebaliknya tidak dengan kehangatan dan perasaan, “karena sudah sangat terbiasa”. Segalanya menjadi suatu rutinitas belaka, tak ada lagi sentuhan kehangatan antar-anggota keluarga.

5. Kelangsungan dan beresnya kehidupan rumah tangga, termasuk urusan sesehari rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, bukan cuma tanggung jawab ibu. Sering anak karena tak terbiasa mendapat tanggung jawab dalam mengelola rumah tangga lantas menganggap ibu sebagai “pembantu rumah tangga yang wajib memberesi urusan rumah”, sementara ayah adalah “tukang mencari nafkah yang wajib mencukupi kebutuhan diri sang anak” belaka. Pembagian tanggung jawab dalam mengurusi rumah tangga akan melatih mereka menghayati bahwa rumah tangga adalah tanggung jawab bersama.
3. Mencegah pengaruh merusak dari lingkungan

Sering anak menjadi nakal dan agresif, atau menjadi depresif karena lingkungan, misalnya karena adanya anak-anak lain atau lingkungan yang sering memperolok-olok (bullying). Sering bullying tidak diceritakan kepada orang tua, dan tahu-tahu anak sudah bereaksi destruktif — menjadi nakal atau depresif, mengisolasi diri sampai bunuh diri — karena trauma psikologis yang mereka terima di sekolah atau dalam pergaulan.

Bullying bisa bergradasi dari ringan, sekadar olok-olok, misalnya "si tonggos" atau "anak mami", sampai ke gradasi berat berupa teror mental dan perlakuan fisik termasuk penyiksaan.

Bagaimana mengatasinya atau mencegahnya?

Bullying bisa terjadi di mana saja; baik di sekolah maupun dalam lingkungan pergaulan. Orang tua sebaiknya menyiapkan anak, memberi tahu mereka bahwa sekali waktu mereka bisa menjadi sasaran bullying. Dan orang tua meyakinkan, agar anak tidak ragu bersikap terbuka karena orang tua siap mendengarkan. Tidak usah sampai “merasa menjadi anak mami” atau “tumbak cucukan” jika anak melapor, yakinkan mereka bahwa Anda akan bertindak bijaksana, tidak ngawur apalagi emosional dan kompulsif.

Jika suatu saat anak memang melapor tentang suatu perlakuan, percayai dia, walaupun Anda tidak usah selalu berespons defensif, membelanya secara membabibuta. Tanyakan bagaimana responsnya sejauh ini dan bagaimana hasilnya. Berikan sugesti yang bijaksana, bukan yang bersifat reaktif. Jika itu sudah menjadi masalah serius, jangan ragu membawanya ke forum sekolah atau ke lingkungan pergaulan, bicarakan secara baik, tetapi Anda tunjukkan kesungguhan Anda.

Tujuan Anda: anak makin mampu mandiri, makin bijak, makin matang, tapi pada kasus istimewa Anda juga siap melakukan intervensi secara terukur.

4. Mencegah terjadinya krisis kepercayaan

Orang tua bisa gelisah dan khawatir ada “apa-apa” dengan anaknya, lebih-lebih saat mereka memasuki masa remaja, entah terjebak dalam narkoba, atau pergaulan dan seks bebas, atau komplotan dan geng yang merusak. Beberapa orang tua melakukan pengintaian (memata-matai) kalau-kalau....

Tetapi, banyak bukti menunjukkan, memata-matai anak sendiri bisa berbahaya, bisa merusakkan citra “saling percaya”; menimbulkan krisis kepercayaan. Anak lalu cenderung bahkan semakin menjauh dan semakin sulit dikendalikan. Sering kali, kekhawatiran orang tua justru memperparah masalah anak. Beberapa ahli menyarankan memberikan kepercayaan penuh, kemudian bersepakat jika terjadi sesuatu, segera dibicarakan secara terus terang. Anak diyakinkan bahwa orang tua tetap merupakan tempat bertanya, tempat “lari” yang aman, dan bahwa orang tua tidak akan marah secara sewenang-wenang.

Anak akan lebih matang lewat “reasoning” dan bukannya dengan dimata-matai. Lagi pula, secermat-cermat orang tua memata-matai anak, masih lebih pintar anak untuk menyembunyikannya dari orang tua, jika mereka merasa orang tua adalah figur yang “menakutkan” dan bukannya figur yang “bersahabat”, yang mau mengerti persoalan anak, betapapun rumitnya.

Jadi, ketika anak Anda tergolong nakal menurut pendapat Anda, segeralah ambil sikap yang tepat untuk mendidiknya. Jangan buru-buru memvonis bahwa anak Anda “tidak bisa diandalkan”, bahkan mengkhawatirkan akibat ulahnya. Pandai-pandailah mengelola anak, meskipun ia termasuk nakal sekalipun, agar anak Anda bisa bertumbuh dengan baik dan wajar; serta bisa sukses dalam kehidupannya.

sumber:Oleh: dr. Yahya Wardoyo, SKM

No comments:

Post a Comment